Makalah Bullying dan Maknanya


BAB. I

PENDAHULUAN

 

A.   Latar Belakang

Anak sebagai mahluk sosial memiliki kebutuhan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, bagaimana ia menyesuaikan diri dengan orang-orang, baik yang berada di sekolah, rumah atau tempat-tempat pendidikan lainnya.

Untuk dapat berkembang anak melakukan berbagai cara agar memahami dunia, melalui dunia pendidikan. Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan untuk memberikan pengetahuan dan mengembangkan ketrampilan. Pendidikan merupakan usaha manusia untuk mampu mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan yang ada, dalam berbagai bentuk pembelajaran yang diselenggarakan secara formal, non-formal dan informal. Adapun pendidikan tidak berdiri sendiri, melainkan banyak komponen-komponen pendukung disekitarnya seperti sekolah, guru, siswa, orang tua siswa, kepala sekolah dan semua pihak yang terlibat dalam penyelengaraan pendidikan. Idealnya semua komponen dapat menjalankan peran, tugas dan tanggungjawabnya dengan baik. Tetapi pada kenyataannya beberapa kegiatan pendidikan tidak berjalan sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku, serta bergeser dari tujuan pendidikan itu sendiri.Tujuan Pendidikan Nasional sesuai UUD 1945 (versi Amandemen), Pasal 31, ayat 3, menyebutkan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan, yang diatur dengan undang-undang.”

Kegiatan interaktif antara komponen pendidikan seperti; guru dengan siswa atau siswa dengan siswa, bergeser dari makna interaksi yang sesungguhnya. Anak, sebagai siswa di sekolah, mendapat tindakan yang tidak nyaman dan bahkan kekerasan dari siswa lainnya. Anak mendapat tindakan Bullying dari teman sekolahnya.  Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak yang diatur dalam Pasal 54, UU No. 23 Tahun 2002 isinya : “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan atau lembaga pendidikan lainnya.”

Atas dasar hal tersebut di atas, maka penulis akan mengangkat topik Bullying yang marak terjadi di dunia pendidikan.

 

B.   Identifikasi Masalah

Masalah Bullying sangatlah luas dan kompleks. Beberapa faktor penyebab terjadinya tindakan Bullying adalah :

  1. Faktor pribadi anak itu sendiri
  2. Faktor keluarga
  3. Faktor lingkungan
  4. Faktor sekolah
  5. Faktor pengaruh media

Faktor-faktor tersebut merupakan penyebab munculnya tindakan Bullying di dalam dan luar dunia pendidikan.

 

C.   Pembatasan Masalah

 

Penulis mengangkat topik tindakan Bullying ini bertujuan  untuk mengembalikan Tujuan Pendidikan Nasional sesuai UUD 1945 (versi Amandemen), seperti yang sudah termaktub di latar belakang penulisan, Pasal 31, ayat 3, menyebutkan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan, yang diatur dengan undang-undang.”

 

 

D.   Rumusan Masalah

 

  1. Apakah yang dimaksud dengan Pendidikan?
  2. Mengapa terjadi tindakan Bullying?
  3. Bagaimana upaya yang dilakukan dalam mengatasi Bullying?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

 

A.  Makna Bullying

 

Beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli tentang perilaku Bullying :

  1. Ken Rigby (2002:15) : “Penekanan atau penindasan yang berulang-ulang secara psikologis atau fisik terhadap seseorang yang memiliki kekuatan atau kekuasaan yang kurang, oleh seseorang atau kelompok orang yang lebih kuat.”
  2. Andrew Mellor (1997), seorang psikolog dari University of Edinburgh, Inggris, mendefinisikan Bullying terjadi ketika seseorang merasa teraniaya oleh tindakan orang lain dan dia takut bila perilaku buruk tersebut akan terjadi lagi, dan merasa tak berdaya untuk mencegahnya.
  3. Barbara Coloroso (2003:44) : “Bullying adalah tindakan bermusuhan yang dilakukan secara sadar dan disengaja yang bertujuan untuk menyakiti, seperti menakuti melalui ancaman agresi dan menimbulkan terror. Termasuk juga tindakan yang direncanakan maupun yang spontan bersifat nyata atau hampir tidak terlihat, dihadapan seseorang atau di belakang seseorang, mudah untuk diidentifikasi atau terselubung dibalik persahabatan, dilakukan oleh seorang anak atau kelompok anak.

 

Dari beberapa pengertian diatas maka pada dasarnya bullying adalah bentuk tindakan atau perilaku,  agresif seperti mengganggu, menyakiti atau melecehkan yang dilakukan secara sadar, sengaja dengan cara berulang-ulang oleh seseorang atau sekelompok orang.

Bullying dapat terjadi di mana saja, tidak memilih umur atau jenis kelamin korban. Korban bullying pada umumnya adalah anak yang lemah, pemalu, pendiam dan special (cacat, tertutup, cantik atau punya ciri-ciri tubuh yang tertentu) yang dapat menjadi bahan ejekan.

 

Bullying di Taman Kanak-kanak

 

Berdasarkan hasil penelitian, anak usia Taman Kanak-kanak (TK) tidak dengan sengaja melakukan bullying pada anak lain. Hal tersebut terjadi karena belajar dari pengalaman sebelumnya, bahwa tindakan tersebut memberi efek yang betul-betul nyata. Yang menjadi pembeda bullying di TK adalah bentuknya.

Perhatikan ilustrasi berikut :

Victor ingin bermain dengan teman sekelasnya Ben, Isaac dan Danu. Tapi mereka selalu menolaknya. Mereka hanya mau mengajak Victor bermain, kalau mereka bermain rumah-rumahan dan memerlukan kucing. Kucing tidak perlu bicara, hanya diam saja sebagai pelengkap. Kemudian mereka akan meminta Victor sebagai kucing. Setelah beberapa menit bermain, Victor sedih dan keluar dari permainan tersebut.

 

Untuk mencegah bullying di TK, hal-hal yang perlu dilakukan oleh guru adalah:

  1. Memberi pengertian pada anak, bahwa bullying dan konflik interpersonal diantara anak adalah 2 hal yang jauh berbeda. Segera ketahui apakah perbuatan itu termasuk bullying atau hanya sebuah konflik biasa dalam pergaulan.
  2. Mengerti bahwa intervensi dini sangat diperlukan dalam menghentikan bullying, perlu juga mendiskusikan masalah ini di kelas. Membahas tentang perilaku dan konflik-konflik apa yang dapat diterima dan mana yang tidak dapat ditolerir.

 

B.  Jenis-jenis Bullying

 

Menurut Andi Priyatna (2010:3),  jenis-jenis bullying dikategorikan sebagai berikut :

  1. Fisikal : memukul, menendang, mendorong, merusak
  2. Verbal : mengolok-olok nama panggilan, mengancam, menakut-nakuti
  3. Sosial : gossip, rumor, dikucilkan dari pergaulan, dan sejenisnya
  4. Cyber/elektronik: mempermalukan orang dengan menyebar gossip di jejaring social internet (missal : Facebook)

Berdasarkan jenis kelamin pelaku bullying, anak laki-laki cenderung melakukan bullying dalam bentukagresi fisikal. Anak laki cenderung lebih sering mengalami tindakan bullying dibandingkan anak perempuan, sekaligus pelaku bullying lebih banyak didominasi oleh anak laki-laki.

 

Dampak tindakan bullying tidak hanya ditanggung oleh si korban bullying, melainkan juga berpengaruh pada si pelaku bullying, korban bullying, begitu pula pada anak yang menyaksikan tindakan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa satu dari tiga anak di seluruh dunia mengaku pernah mengalami bullying, baik di sekolah, di lingkungan sekitar ataupun secara online (melalui media komunikasi telepon). Sebaliknya, satu dari tiga anak mengaku pernah melakukan tindakan bullying pada kawannya.

Mereka yang biasa menyaksikan tindakan bullying pada kawan-kawannya akan mengalami resiko :

  1. Menjadi penakut dan rapuh
  2. Sering mengalami kecemasan
  3. Rasa keamanan diri rendah

C.   Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Bullying

 

Beberapa faktor penyebab terjadinya tindakan bullying adalah :

  1. Faktor pribadi anak itu sendiri

Anak yang pernah mengalami kekerasan khususnya dari orang tua lebih cenderung 'balas dendam' pada temannya di luar rumah  Mereka tidak dapat mengatasi konflik kekecewaan atas perbuatan orangtua mereka sendiri dengan dirinya sendiri, sehingga dapat menyebabkan ketidakstabilan emosi dalam diri mereka.

 

  1. Faktor keluarga

Anak yang melihat orang tuanya atau saudaranya melakukan bullying sering akan mengembangkan perilaku bullying juga. Ketika anak menerima pesan negatif berupa hukuman fisik di rumah, mereka akan mengembangkan konsep diri dan harapan diri yang negatif, yang kemudian dengan pengalaman tersebut mereka cenderung akan lebih dulu meyerang orang lain sebelum mereka diserang. Bullying dimaknai oleh anak sebagai sebuah kekuatan untuk melindungi diri dari lingkungan yang mengancam. Rendahnya keterlibatan dan perhatian orang tua pada anak juga bisa menyebabkan anak suka mencari perhatian dan pujian dari orang lain. Salah satunya pujian pada kekuatan dan popularitas mereka di luar rumah.

 

  1. Faktor lingkungan

Pada saat anak beranjak remaja, anak lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah atau lingkungan di mana anak itu tinggal. Salah satu faktor yang sangat besar adalah perilaku bullying teman sebaya atau lingkungan yang memberikan pengaruh negatif dengan cara memberikan ide baik secara aktif maupun pasif bahwa bullying tidak akan berdampak apa-apa dan merupakan suatu hal yang wajar dilakukan.

 

 

  1. Faktor sekolah

Karena pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying ini, anak-anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi anak-anak yang lainnya. Bullying berkembang dengan pesat dalam lingkungan sekolah yang sering memberikan masukan yang negatif pada siswanya misalnya, berupa hukuman yang tidak membangun sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai dan menghormati antar sesama anggota sekolah.

 

  1. Faktor pengaruh media

Program televisi yang tidak mendidik, video game, dan film sebagai sarana media banyak menyuguhkan adegan kekerasan, atau perang. Meski seharusnya, orang tua melakukan pendampingan saat menonton atau bermain video game untuk anak di bawah umur, nyatanya banyak yang belum melakukan ini. Ekspos media terhadap adegan kekerasan ini sering menginspirasi anak untuk mencobanya dalam dunia nyata.

 

Menurut data statistik  tahun 2010 perilaku bullying di beberapa Negara:

  1. 69% anak-anak di Inggris melaporkan diperlakukan sebagai anak yang mendapatkan tindakan bullying.
  2. 58% anak-anak di Amerika Serikat mengakui bahwa seseorang telah mengatakan sesuatu yang menyakitkan mereka secara online.
  3. Setiap tahun sedikitnya 20 anak di Inggris mengakui mencoba melakukan tindakan bunuh diri karena perlakuan bullying yang mereka terima.
  4. Di Australia 20% anak-anak yang mengalami bullying secara perlahan-lahan menghindar dari kegiatan pembelajaran di sekolah.
  5. Di Kanada seorang anak mendapatkan tindakan bullying setiap tujuh menit di halaman bermain sekolah dan setiap 25 menit di dalam kelas.

 

 

D. Upaya mengatasi tindakan Bullying

 

Pada tahun 2006 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kasus kekerasan pada anak mencapai Rp 25 juta, dengan berbagai macam bentuk, dari yang ringan sampai yang berat. Lalu, data BPS tahun 2009 menunjukkan kepolisian mencatat, dari seluruh laporan kasus kekerasan, 30 persen di antaranya dilakukan oleh anak-anak, dan dari 30 persen kekerasan yang dilakukan anak-anak, 48 persen terjadi di lingkungan sekolah dengan motif dan kadar yang bervariasi. Plan Indonesia pernah melakukan survei tentang perilaku kekerasan di sekolah. Survei dilakukan di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Bogor, dengan melibatkan 1.500 siswa SMA dan 75 guru. Hasilnya, 67,9 persen menganggap terjadi kekerasan di sekolah, berupa kekerasan verbal, psikologis, dan fisik. Pelaku kekerasan pada umumnya adalah teman, kakak kelas, adik kelas, guru, kepala sekolah, dan preman di sekitar sekolah. Sementara itu, 27,9 persen siswa SMA mengaku ikut melakukan kekerasan, dan 25,4 persen siswa SMA mengambil sikap diam saat melihat terjadi kekerasan. Oleh karenanya, solusi yang bisa dilakukan untuk mencegah dan menangani kasus Bullying ini, antara lain:

 

 

1. Solusi buat orang tua atau wali orang tua :

 

1.1. Satukan Persepsi dengan Istri/Suami. Sangat penting bagi suami-istri untuk satu suara dalam menangani permasalahan yang dihadapi anak-anak di sekolah. Karena kalau tidak, anak akan bingung, dan justru akan semakin tertekan. Kesamaan persepsi yang dimaksud meliputi beberapa aspek, misalnya: apakah orang tua perlu ikut campur, apakah perlu datang ke sekolah, apakah perlu menemui orang tua pelaku intimidasi, termasuk apakah perlu lapor ke polisi.

1.2. Pelajari dan Kenali Karakter Anak. Perlu kita sadari, bahwa satu satu penyebab terjadinya bullying adalah karena ada anak yang memang punya karakter yang mudah dijadikan korban. Sikap “cepat merasa bersalah”, atau penakut, yang dimiliki anak. Dengan mengenali karakter anak, dapat mengantisipasi berbagai potensi intimidasi yang menimpa anak, atau setidaknya lebih cepat menemukan solusi (karena kita menjadi lebih siap secara mental).

1.3. Jalin Komunikasi dengan Anak. Tujuannya adalah anak akan merasa cukup nyaman (meskipun tentu saja tetap ada rasa tidak nyaman) bercerita kepada orang tuanya ketika mengalami intimidasi di sekolah. Ini menjadi kunci berbagai hal, termasuk untuk memonitor apakah suatu kasus sudah terpecahkan atau belum.

1.4. Jangan Terlalu Cepat Ikut Campur. Idealnya, masalah antar anak-anak bisa diselesaikan sendiri oleh mereka, termasuk di dalamnya kasus-kasus bullying. Oleh karena itu, prioritas pertama memupuk keberanian dan rasa percaya diri pada anak.  Kalau anak punya kekurangan tertentu, terutama kekurangan fisik, perlu ditanamkan sebuah kepercayaan bahwa itu merupakan pemberian Tuhan dan bukan sesuatu yang memalukan. Kedua, jangan terlalu “termakan” oleh ledekan teman, karena hukum di dunia ledek-meledek adalah “semakin kita terpengaruh ledekan teman, semakin senang teman yang meledek itu”.

1.5. Masuklah di Saat yang Tepat. Jangan lupa, bahwa seringkali anak (yang menjadi korban intimidasi) tidak senang kalau orang tuanya turut campur. Situasinya menjadi paradoksal: Anak menderita karena diintimidasi, tapi dia takut akan lebih menderita lagi kalau orang tuanya turut campur. Karena para pelaku bullying akan mendapat ‘bahan’ tambahan, yaitu mencap korbannya sebagai “anak mami”. Oleh karena itu, mesti benar-benar mempertimbangkan saat yang tepat ketika memutuskan untuk ikut campur menyelesaikan masalah. Ada beberapa indikator: (1) Kasus tertentu tak kunjung terselesaikan, (2) Kasus yang sama terjadi berulang-ulang, (3) Kalau kasusnya adalah pemerasan, melibatkan uang dalam jumlah cukup besar, (4) Ada indikasi bahwa prestasi belajar anak mulai terganggu

1.6. Bicaralah dengan Orang yang Tepat. Jika sudah memutuskan untuk ikut campur dalam menyelesaikan masalah, pertimbangkan masak-masak apakah akan langsung berbicara dengan pelaku intimidasi, orang tuanya, atau gurunya.

1.7.Jangan Ajari Anak Lari dari Masalah. Dalam beberapa kasus, anak-anak kadang merespon intimidasi yang dialaminya di sekolah dengan minta pindah sekolah. Kalau dituruti, itu sama saja dengan lari dari masalah. Jadi, sebisa mungkin jangan dituruti. Kalau ada masalah di sekolah, masalah itu yang mesti diselesaikan, bukan dengan ‘lari’ ke sekolah lain. Jangan lupa, bahwa kasus-kasus bullying itu terjadi hampir di semua sekolah.

 

 

2. Penanganan yang bisa dilakukan oleh guru:

  1. Mengusahakan untuk mendapat kejelasan mengenai apa yang terjadi. Tekankan bahwa kejadian tersebut bukan kesalahannya.
  2. Membantu anak mengatasi ketidaknyamanan yang ia rasakan, jelaskan apa yang terjadi dan mengapa hal itu terjadi. Guru harus dapat menerangkan dalam bahasa sederhana dan mudah dimengerti anak. JANGAN PERNAH MENYALAHKAN ANAK atas tindakan bullying yang ia alami.
  3. Meminta bantuan pihak ketiga (psikolog atau ahli profesional) untuk membantu mengembalikan anak ke kondisi normal, jika dirasakan perlu.
  4. Mengamati perilaku dan emosi anak , bahkan ketika kejadian bully yang ia alami sudah lama berlalu (ingat bahwa biasanya korban menyimpan dendam dan potensial menjadi pelaku di kemudian waktu). Bekerja sama dengan pihak sekolah (guru) dan mintal mereka membantu dan mengamati bila ada perubahan emosi atau fisik anak. Mewaspadai perbedaan ekspresi agresi yang berbeda yang ditunjukkan anak di rumah dan di sekolah (ada atau tidak ada orang tua / guru / pengasuh).
  5. Membina kedekatan dengan teman-teman sebaya anak dengan cara mencermati cerita mereka tentang anak. Mewaspadai perubahan atau perilaku yang tidak biasa.
  6. Meminta bantuan pihak ke tiga (psikolog atau ahli profesional) untuk menangani pelaku.

Comments

Post a Comment

Popular Posts